Branding untuk Anak-anak, Mengapa Tidak?
Ilustrasi. (Foto: Seorchers)
BRANDING adalah proses membangun persepsi terhadap suatu produk, mulai dari merancang strategi, esensi, memilih nama, sampai dengan menciptakan bentuk dan warna yang mewakili seluruh persepsi yang ingin dicapai.
Dalam proses tersebut, sebuah brand tentunya dikemas secantik dan semenarik mungkin, bahkan sampai terkadang dapat melebihi fakta dan realita yang ada. Segala upaya pemasaran dan komunikasi dilakukan untuk memoles citra sebuah brand dari berbagai arah. Bila berkomunikasi dengan konsumen dewasa, tentu mereka sudah jauh lebih mampu menyaring informasi dan membuat sebuah keputusan.
Namun bagaimana dengan anak-anak? Ibarat kertas putih yang polos, seluruh informasi akan masuk dengan mudah ke dalam pikiran anakanak karena mereka belum memiliki kapabilitas tersebut. Dalam hal ini, apakah sebuah brand dapat mengubah realita dan membohongi anak-anak? Mari kita kembali ke beberapa dekade yang lalu di tahun 1959 ketika boneka remaja perempuan yang cantik bernama Barbara Millicent Robert, atau yang sekarang kita kenal dengan sebutan Barbie, mulaidiperkenalkan ke pasar.
Pada saat itu, dunia mainan anak didominasi oleh boneka bayi perempuan yang bulat dan terbuat dari kain dan wol. Barbie muncul dengan konsep desainremaja putriyangcantik dan menarik. Hal ini merupakan sebuah gebrakan besar dalam industri mainan anak sehingga Barbie mampu menembus angka penjualan sebanyak 350.000 buah boneka dalam tahun pertamanya.
Di tengah sorotan yang luas dari berbagai pihak, muncul kekhawatiran akan bentuk tubuh Barbie yang tidak proporsional dibandingkan dengan bentuk tubuh manusia. Hal ini memicu remaja perempuan menderita anoreksia demi mendapatkan porsi tubuh ideal selayaknya boneka Barbie.
Menyadari sisi negatif tersebut, Matel sebagai produsen dan pemilik register dari Barbie, pada awal tahun 2000 memutuskan untuk memperbaiki bentuk tubuh Barbie dengan menambahkanmasatubuh dan memperlebar lingkar pinggang agar lebih manusiawi. Lego, sebuah legenda produk mainan terbesar di dunia, berhasil mengikat anakanak bahkan sampai mereka beranjak dewasa. Apa yang dilakukan Lego sehingga dapat mengunci hati para pecintanya?
Di balik kesuksesannya, sebetulnya Lego pernah mengalami masa resesi pada tahun 2005. Lego memunculkan mainanmainan langsung jadi–di mana konsumen menilai Lego telah kehilangan “jiwanya”. Akibatnya, begitu banyak konsumen yang meninggalkan Lego. Beruntunglah Lego cepat menyadari hal tersebut; Sampai sekarang mereka telah kembali dengan mainan konsep lama mereka dan berhasil memenangkan pasar bahkan jauh lebih besar dari sebelumnya.
Lego tetap menjaga tujuan utama dari brand-nya sebagai pengembang imajinasi dan kemampuan berkreasi anak. Brand yang baik adalah brand yang dapat mengomunikasikan esensi melalui setiap pesannya. Namun pada saat yang bersamaan, pesan yang disampaikan haruslah dapat dipertanggung jawabkan. Ketika kita memasarkan brand kepada konsumen dewasa, mereka akan secara kritis melakukan verifikasi dan validasi untuk mengetahui sampai di mana kebenaran dari informasi yang mereka terima.
Hal yang berbeda ketika berhadapan dengan anak-anak di mana pemilik brand tentunya harus menyadari bahwa setiap komunikasi yang disampaikan kepada anak-anak akan sangat cepat diserap oleh mereka, baik yang benar maupun yang bohong. Oleh karena itu, integritas dan kredibilitas brand harus dijunjung tinggi, yaitu dengan kembali kepada esensi atau tujuan dasar dari eksistensi brand tersebut.
DANIEL SURYA
Chairman & President SEA, DM-IDHOLLAND
&
ELSYA JONATHAN
Account Manager, DM-IDHOLLAND
(Koran SINDO//wdi)
http://economy.okezone.com/read/2013/10/24/23/886117/branding-untuk-anak-anak-mengapa-tidak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar