Kamis, 19 Desember 2013

TRIANGLE BANYUWANGI MENJEMPUT BOLA

TRIANGLE BANYUWANGI MENJEMPUT BOLA


Salah satu cara agar kura-kura bisa melihat keindahan dunia adalah dengan mengeluarkan kepala dari cangkangnya alias think out of the box.  Kita dihadapkan pada dunia global yang telah menjadikan batas-batas wilayah semakin tidak jelas, informasi semakin banyak dan teknologi yang semakin canggih. Hal ini menuntut kita untuk cepat berubah. Siap ataupun tidak siap arus globalisasi akan terus meraja lela.
Think Globally and Act Locally adalah prinsip dasar dalam memajukan daerah. Memajukan daerah berarti membuat perencanaan yang strategis dan langkah taktik dengan cara yang tidak biasa agar menjadi daerah yang luar biasa. Perencanaan yang strategis itu harus bebasis global, namun dengan taktik yang berbasis sentuhan lokal.
Memajukan daerah berarti meningkatkan level dari lokal, nasional, negara atau bahkan dunia. Memajukan daerah bisa dilakukan oleh triangle dengan menjemput bola. Triangle yang dimaksud adalah GPP yaitu Goverment (pemerintah), People (masyarakat dan pengusaha), dan Potential content (potensial daerah), sedangkan bola yang harus dijemput adalah BIT yaitu Businessman, investor dan tourist. Peranan triangle adalah menciptakan virtuous cycle yaitu ketiganya harus memiliki kesamaan dalam visi dan langkah dengan interaksi yang saling menguatkan. Visi memegang peranan penting untuk kemajuan daerah di masa depan.
Di level government, pemerintah harus bisa mengubah mindset dari birokratis menjadi entrepreneurial yang berani mengambil tindakan tanpa terbelit alur birokrasi yang panjang. Pemerintah harus cepat dalam menangkap peluang dan memanfaatkannya untuk kemajuan daerah, menciptakan pelayanan yang cepat, mampu menjamin kenyamanan masyarakat dan para pendatang serta menciptakan kebijakan yang pro-rakyat dan pro-bisnis. Tindakan pemerintah yang cepat tanpa alur birokrasi yang membingungkan akan menciptakan iklim pememrintah yang lebih peka terhadap perubahan dan mampu menciptakan iklim bisnis yang nyaman sehingga mampu menjemput BIT dengan cepat. Ada banyak pemerintah yang disegani rakyatnya dan didekati oleh pengusaha karena pemikiran pemerintah yang tidak terlalu birokratis. Contohnya Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi.
People (masyarakat dan pengusaha) pun sama, harus bisa mengikuti arus global. Mereka harus memiliki kompetensi untuk bermain secara global. Intervensi pemerintah disisni sangat dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang knowledgeable. Pemerintah harus membangun fasilitas pendidikan agar mampu mencetak generasi berkarakter. Dengan status barunya sebagai perguruan tinggi negeri, POLITEKNIk justru akan membawa ampak besar dalam kemajuan pendidikan. Selain itu masyarakat perlu dibekali dengan nilai-nilai kebaikan agama dan etika agar mereka menjadi masyarakat cerdas yang membangun bukan merusak. Banyak sekali negara seperti di Amerika dan Eropa yang mulai runtuh karena masyarakatnya cerdas tapi kurang beretika. Bali pun akan kebingungan jika tak membuat filter yang kuat untuk menyaring budaya tourist yang kurang sesuai dengan nilai etika ke-timuran.
Pengusaha lokal harus juga meningkatkan level bisnisnya ke pasar yang lebih luas. Saat ini, pesaing yang menyerang bukan hanya pesaing lokal, akan banyak pesaing yang bisa menyerang dari arah yang tak terduga.  Ingat kita berada di situasi choos, kondisi dengan perubahan yang membingungkan dan serangan pesaing yang tak terduga. Pemerintah juga harus ikut andil dengan memberikan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan, menyediakan fasilitas bisnis yang menunjang pertumbuhan bisnis lebih cepat. Dengan kompetensi yang dimiliki, mereka bisa siap kapanpun untuk bersaing secara global, yang akhirnya masyarakart bisa welcome dengan kedatangan BIT.
Menjemput BIT harus dudukung dengan tiga hal yang sangat krusial agar mereka bisa nyaman di Banyuwangi. Jika kita meminjam konsep Hermawan Kertajaya, harus ada tiga hal yang dilakukan yaitu terus-menerus memperbaiki Liviability, investability dan visiability. Liviability berarti menjamin BIT untuk bisa tinggal nyaman. Untuk menjadi tempat tinggal yang nyaman, Banyuwabgi harus bisa menyediakan fasilitas umum yang nyaman, memberi layanan publik yang nyaman, menjamin biaya hidup yang kompetitif, mengurangi tingkat kriminalitas dan menciptakan nuansa lingkungan yang nyaman. Investability  adalah bagaimana menciptakan peluang investasi yang besar dengan menyediakan sumber daya manusia yang terampil, memperbaiki infrastruktur dan fasilitas produksi, mempermudah akases pasar antar daerah bahkan lintas negara. Selain itu pemerintah juga perlu menciptakan iklim pemerintah yang tidak terlalu birokratis dan membuat regulasi yang bisa mnguntungkan banyak pihak. Visiability adalah bagaimana mempermudah akses BIT ke Banyuwangi misalnya dengan fasilitas transportasi dan akomodasi yang nyaman. Untuk melengkapi ketiganya, diperlukan juga event seperti merancang konferensi yang periodik agar mereka mngetahui banyak tentang Banyuwangi.
Sekali lagi, pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan penawaran berupa potensi daerah yang unik untuk mendatangkan pengusaha dan investor yang nantinya akan membawa perubahan ke depan yang lebih baik. Banyuwangi harus menjadi  tuan rumah yang baik dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang ada agar tamu merasa nyaman dan masyarakat tetap beretika.

Bagaimana pendapat Anda?


                                                                                                By: Husnul Hasan

Karya ini dipublikasikan di:
Facebook         :  Hasan Rish-unej (husnul_hasan@ymail.com)

Blog                :  http://lovemarketingg.blogspot.com/

NICHE MARKET TOURISM

NICHE MARKET TOURISM
 
 
            John Naisbitt pernah meramalkan bahwa di balik gelombang modernisasi yang akan menghalalkan segala sesuatu yang keduniawian, akan ada arus balik gelombang back to  Allah. Artinya, akan ada peningkatan kebutuhan akan keseimbangan antara sesuatu yang bersifat duniawi dan akhirat. Dalam hal lain kita juga akan melihat dua kutub yang berlawanan, misalnya orang desa yang ingin bergaya orang kota, sebaliknya banyak orang kota yang ingin merasakan nuansa desa. Di saat banyak orang yang membanggakan kemegahan infrastruktur, justru banyak yang ingin merasakan nuansa alam. Di saat banyak restoran yang menawarkan makanan ala barat, justru masakan daerah semakin dicari. Di saat banyak orang yang kagum pada kecanggihan teknologi, justru banyak yang menyerukan “back to nature”. This is great opportunity to develop tourism.
            Niche market adalah target pasar yang fokus pada pasar kecil tapi unik. Kecil tapi memiliki potensi besar untuk berkembang dan sustainable. Untuk memilih niche market, kita harus memilih potensi yang ada. Banyuwangi memiliki potensi alam yang banyak seperti Sukamade, Pulau merah, pantai Blambangan, Blimbing Sari, Rowobayu, Taman Nasional Baluran dan serta nuansa pegunungan yang khas. Niche market yang dipilih adalah mereka yang ingin merasakan kesejukan, adventure dan berharap value lebih dari keunikan yang ditawarkan.
Pariwisata yang bisa sustainable adalah pariwisata yang bisa melihat pasar dengan kreatif yaitu dengan mentransformasi dari “ what to offer” menjadi “how to offer”What to offer berbasis pada potensi yang dimilki baik alam ataupun buatan, dimana berbagai daerah lain sudah memilkinya. How to offer  berbasis pada bagaimana kita menawarkan potensi yang kita miliki dengan lebih berorientasi pada proses dan pemberian layanan untuk menciptakanvalue (nilai) yang berbeda. Pada intinya, dalam menawarkan pariwisata, Banyuwangi tidak hanaya bergantung pada potensi alam tapi bagaimana menawarkan potensi alamnya. Misalnya Cafe gumitir yang tidak hanya menawarkan kopi tapi memberi nilai lebih dengan fasilitas tambahan dan layanan. Ijen tidak hanya menawarkan kawahnya, tapi membungkusnya dengan proses ekstra seperti adventurehiking dan event “tour de ijen”.
Potensi pariwisata Banyuwangi yang menurut saya memiliki potensi besar ke depannya adalah wisata  natureseperti pegunungan, danau, kuliner khas daerah yang bernuansa keluarga dan wisata yang menawarkan alam untuk“event-event adventure”.. Dengan menciptakan wisata nuansa keluarga dan alam, kita bisa membuat segmentasi kelas memengah ke  atas. Wisata keluarga biasanya dilakukan oleh orang-orang kaya yang mereka rindu akan nuansa alam yang menawarkan ketenangan dan bernuansa kekeluargaan. Wisata “ adventure” b iasanya diincar bagi mereka yang ingin merasakan pengalaman yang berbeda dari dunia pertama mereka yang membosankan. Hal ini berpeluang besar untuk menarik investor. Jika kita mampu bergerak di dua bidang ini, kita bisa memilki diferensiasi tinggi dan bisa memberikan value yang berbeda dari daerah lain, dengan begitu pengunjung akan merasa puas dan akan berlakulah hukum word of moutch, mereka akan menceritakan pengalamannya pada komunitasnya.
Untuk memajukan pariwisata, perlu adanya fasilitas pendukung seperti kemudahan akses trasportasi untuk menuju ke tujuan wisata, adanya fasilitas  pendukung seperti rumah makan, hotel dan tempat berbelanja oleh-oleh khas daerah. Selain itu, pariwisata Banyuwangi akan maju jika masyarakatnya knowledgeable. Mereka memilki wawasan yang luas dan tetap memegang teguh nilai-nilai agama dan nilai etika dalam masyarakat karena mereka akan kedatangan pengunjung dari luar daerah yang itu akan membawa budaya yang berbeda sehingga masyarakat harus meemilki filter yang kuat untuk menyaring budaya tersebut. Bali semakin kebingungan ketika banyaknya tourist asing yang masuk dengan membawa budaya yang beragam sedangkan massyarakat kurang bisa memfilter hingga akhirnya justru masyarakat mulai terbiasa dengan budaya tourist .  Dampak pertama yang terasa adalah pergaulan remaja. Di Bali masih bisa ditoleransi karena memang mayoritas masyarakat Bali adalah penganut Hindu. Bali masih terus berusaha memperkuat nilai-nilai luhurnya. Banyuwangi dengan mayoritas penduduk islam, akan beresiko besar jika pariwisata Banyuwangi dikembangkan dengan konsep yang sama dengan Bali terutama konsep wisata pantai dan tempat hiburan sebagai pendukung.
Wisata memang seharusnya membawa impact yang baik untuk mendokrak pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar tanpa melunturkan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Masyarakat harus menjadi pemain utama dalam pariwisata seperti dengan penyediaan akomodasi trasnportasi dan penginapan, penyediaan food and beverage, serta penyediaan kerajinan tangan atau oleh-oleh khas Banyuwangi.
Selain eksploitasi, wisata juga perlu dieksplorasi yaitu mengkomunikasikan potensi pariwisata melalui promosi.  Promosi harus jujur, tidak boleh berlebihan.” How to simplify complexities without loosing essentials”. Komunikasi itu harus sederhana tapi “mengena” dan menunjukan keunikan dari Banyuwangi. Banyuwangi harus mampu menciptakan kata ampuh yang akan melekat di target pasar karena perang yang sebenarnya adalah di benak konsumen yaitu memperebutkan ruang untuk ditempati produk kita. Seperti wisata Indonesia dengan branding “ wondwrfull Indonesia”yang menunjukan bahwa Indonesia memang memiliki wisata yang wonderfull.
What brand is banyuwangi in?
 
 
                                                                                                By: Husnul Hasan
 
Karya ini dipublikasikan di:
Facebook         :  Hasan Rish-unej (husnul_hasan@ymail.com)
Blog                :  http://lovemarketingg.blogspot.com/

Sabtu, 14 Desember 2013

MarkPlus Insight: Hanya 20% Netizen yang Belanja Online


MAIN STORY

MarkPlus Insight: Hanya 20% Netizen yang Belanja Online


Banyak hype mengenai e-commerce di Indonesia. Namun apakah memang betul booming? Pertumbuhan angka transaksinya memang meningkat dibanding tahun sebelumnya. Namun secara absolut, ternyata belum signifikan. Menurut MarkPlus Insight Indonesia Netizen Survey 2013, netizen yang mengaku biasa belanja online meningkat dari 15% pada tahun 2012 menjadi 20% pada tahun 2013 ini. Dari angka itu, mayoritas adalah netizen wanita.
Selain itu, sekitar 14% dari netizen yang belanja online ini mengaku mengeluarkan uang rata-rata Rp 200.000 untuk membeli produk lewat online.
Pertanyaannya, di manakah mereka biasa melakukan belanja online? Ternyata 27% lewat messenger group seperti BB Group, 26% lewat social media seperti Facebook, 26% lewat forum atau classified ads seperti Tokobagus, dan 20% lewat online shop seperti Lazada, Blibli, Zalora, dan sebagainya. Beberapa produk yang menjadi sasaran mereka adalah baju, sepatu, dan tas.
Sedangkan untuk metode pembayaran, Indonesia Netizen Survey 2013 menemukan bahwa transfer antar rekening dan cash on delivery masih menjadi metode yang paling disukai oleh para netizen dengan porsi masing-masing 80,7% dan 27,1%. Jauh berbeda dengan sejumlah negara maju, semisal Amerika Serikat (AS), hanya 2,5% netizen yang biasa menggunakan kartu kredit untuk bertransaksi online shopping. 

Rebranding atau Repositioning ?

Rebranding atau Repositioning ?

Dalam dunia pemasaran, kita sering menjumpai istilah rebranding dan repositioning. Apa sebenarnya masing-masing tersebut ?
Rebrand_Logo-300x300Rebranding
Rebranding secara definisi berarti proses pemberian nama brand baru atau identitas baru pada produk atau jasa yang sudah ada tanpa perubahan berarti dari kelebihan yang ditawarkan oleh sebuah produk.
Ada dua tipe rebranding, yang pertama adalah apabila secara keseluruhan berganti nama merek (misalnya dari Bell Atlantic menjadi VerizonCellular One menjadi Cingular Wireless).
Yang kedua, rebranding sebagai hasil modifikasi dari merek yang sudah mapan (produk sereal Coco Krispies menjadi Coco Pops, produk pembersih Jif menjadi Cif, produk minuman Nestle Quik menjadi Nesquik).

Faktor Pendorong Rebranding
Faktor yang umumnya mendasari rebranding berkisar pada tekanan eksternal seperti regulasi, konsekuensi penjualan/pembelian merek, merger antar perusahaan, proses harmonisasi merek di tingkat global, dll.
Contoh popular adalah rebranding yang dialami oleh salah satu produk P&G. Pada tahun 1999, diputuskan untuk menyatukan nama brand produk pelembab yang dikenal dengan beberapa nama : Oil of Ulan, Oil of Ulay, Oil of Olaz menjadi Olay. Di tingkat global, nama Olay lah yang sekarang dipromosikan secara terintegrasi, kecuali di Jerman, Austria dan Swiss dimana masih dipasarkan dengan nama Oil of Olaz, dan di Belanda dengan nama Olaz.
Brand Repositioning
Brand repositioning punya arti yang berbeda. Istilah ini lebih tepat apabila kegiatannya mengarah pada pemberian posisi atau makna baru pada brand yang sudah ada, dengan cara memperbaiki produk atau jasa yang ditawarkan, tanpa merubah nama brand.  Salah satu contoh brand repositioning adalah proses mengubah citra brand Samsung menjadi global brand. Beberapa tahun yang lalu, Samsung masih dikenal dan diasosiasikan sebagai produk buatan Korea dan konservatif. Saat ini, dengan tetap menggunakan nama Samsung, setelah melalui proses brand repositioning yang menyeluruh, citranya berubah menjadi brand global yang inovatif dan modern.
Faktor Pendorong Repositioning
Banyak pemasar yang mempertimbangkan brand repositioning sebagai respon dari perubahan selera konsumen, tekanan kompetisi, tekanan dari channel/distribusi, dll.
Mengapa kedua istilah ini sering digunakan bersamaan atau secara bergantian adalah karena umumnya pada saat melakukan rebranding, perusahaan juga sekaligus menggunakan kesempatan ini untuk brand repositioning. Contohnya, rebranding dariAndersen Consulting menjadi Accenture di tahun 2000 yang tidak hanya rebranding murni, tetapi juga membawa perusahaan ke posisi yang baru, yang merefleksikan perkembangan perusahaan. Dengan nama baru Accenture, lingkup kecakapan perusahaan di bidang consulting menjadi bertambah luas. (wf)

Kolaborasi "Hijau" Toyota dan Ford

Kolaborasi "Hijau" Toyota dan Ford


Toyota Company dan Ford Company yang selama ini bersaing hebat dalam dunia bisnis mobil akan bekerjasama untuk membuat Truck dan SUV secara hybrid. Hal ini disebutkan dalam kerjasama antara kedua perusahaan ini pada hari senin (22/08) kemarin di Detroit Amerika.



Adapun proyek ini direncanakan akan terlaksana 2012 nanti Toyota yang selama ini merajai bisnis hybrid car; dan Ford yang menguasai pasar truk dan SUV akan bekerjasama untuk menciptakan proyek hybrid truck dan SUV yang dinilai akan membantu dunia untuk lebih “hijau”.



Bisnis hybrid yang selama ini sedang gencar-gencarnya dijalankan oleh beberapa perusahaan raksasa sepertinya menarik minat kedua perusahaan ini untuk berkolaborasi bersama membangun sebuah sistem mobil hybrid yang efisien, yang dilengkapi dengan kemajuan teknologi seperti telepon, internet, dan entertainment system.



Alan Mulally, CEO Ford berkata bahwa kolaborasi bisnis ini diharapkan bisa mendapatkan solusi dari tantangan global yang datang seperti krisis energi dan pemeliharaan lingkungan. Kolaborasi ini dipercaya bisa membantu Dunia untuk mengurangi polusi dan kerusakan lingkungan dari kendaraan ber-emisi.

22 Immutable Laws of Marketing: Law 6

Melanjutkan seri 22 Immutable Laws of Marketing yang saya post kemaren, blog ini akan membahas Law yang ke 6 dari bukunya Al Ries dan Jack Trout

6. The law of exclusivity - two companies cannot own the same word in the prospect's mind.

Well untuk hukum yang satu ini memang sudah seharunya, alis sudah absolute… yang bisa menjadi pemenang dalam marketing juga cuma 1. Di bab yang ini Al Ries dan Jack Trout membandingkan tentang batere Energizer dan Duracell, sampai saat ini pun kedua brand baterai tersebut masih bersaing untuk memperebutkan kata yang sama yaitu “Long Lasting.”

Contoh kasus marketing yang seperti di Indonesia adalah Teh Sosro dengan Teh Botolnya dan Teh Kotak buatan PT. Ultrajaya. Mereka sudah lama sekali berperang dalam memperebutkan kata Teh Manis. Sampai saat ini Teh Botol sepertinya masih memenangkan peperangan ini.

Contoh lainnya adalah produk lain dari PT. Ultrajaya dan Indofood dalam produk susu kemasannya yaitu Susu Ultra dan Indomilk, keduanya juga sedang memperebutkan kata “susu kemasan.” Nah ngomong-ngomong soal susu kemasan, entah kenapa saya teringan Cimory :) soalnya saya suka sekali sama Cimory jadi susu Ultra dan Indomilk saya sudah saya tinggal.

Mungkin ada disini Marketeers yang punya pengalaman dalam mengembangkan produk yang berperang dalam memperebutkan sebuah kata?

The Fall of Advertising & The Rise of PR


Today’s major brands are born with publicity, not advertising - sekarang, brand (merek) lahir melalui publikasi, bukan advertising (iklan).  Demikian Al Ries, pakar strategis marketing, menulis buku best seller terbarunya, The Fall of Advertising & The Rise of PR.  Judul dengan terobosan baru ini menilik fungsi strategis Public Relations (kehumasan) dalam membangun kredibilitas brand Anda.  Al Ries (juga sering berkobalorasi bersamaJack Trout) telah banyak menghasilkan buku best seller marketing, diantaranya – Marketing WarfarePositioning, Bottom-Up Marketing, dan termasuk The 22 Immutable Laws of Marketing. Bahkan Enam tahun lalu, dalam The New Positioning, Jack Trout telah menulis satu chapter khusus tentang PR sebagai New Positioning.  Kali ini Ries mendedikasi keunggulan PR yang lebih konkret, serta in depth dari teori Jack Trout sebelumnya.
Hasil kolaborasi dengan Laura Ries (Anak perempuan-nya), buku ini mampu memberi gagasan baru dibarengi contoh segar dalam perkembangan dunia Public Relations.  Bahkan mereka sanggup memberi judul serta analogi baru yang cukup sensasional, seperti “Advertising is the Wind. PR Is the Sun.” Gaya bahasa yang berani serta lugas, merupakan ciri karakter tulisan Ries hingga mudah dicerna, termasuk contoh-contoh brand global yang memang tersedia dikeseharian kita.  Selain mampu menambah wawasan ke-PR-an Anda,  Ries jug memberikan anekdottentang brand yang didukung oleh hipotesa-hipetosa, hingga  mampu membuat Anda berdecak – “benar juga, nih? “ atau ” kok nggak terpikir sebelumnya, yah ?” Ries menyajikan PR sebagai alat strategis sekaligus marketing weaponyang paling effektif.
Buku setebal 320 halaman ini ringkas, serta praktikal - easy to read.  Sebagai praktisi PR, maupun pemasaran, sulit bagi kita untuk melewati begitu saja tiap ulasan serta analisa kedua penulis ini.  Penulis berhipotesa, “Kapan Kita pernah bertemu orang yang secara serius akan membeli produk yang dia tonton di TV tadi malam ?”  Sering kita bertanya, “Apa memang ada yang betul-betul membeli produk dari iklan TV atau koran ?” Ada mungkin, namun jarang, kan ? Penulis menjelaskan kebanyakan pembeli bukan dari iklan, namun infomercials (iklan dengan pesan serius).
Ries membahas banyak hal keunggulan PR dalam implementasi pemasaran brand dunia, termasuk: Starbuck, The Body Shop,Amazon.com, Yahoo!, Intel, Harry Potter, & Red Bull yang sukses hampir tanpa advertising - hanya dengan publisitas PR.  Kedua penulis memberikan contoh seperti, The Body Shop sukses berkat kepiawaian PR -Anita Brodick sang CEO - yang mampu memposisikan brand-nya sebagai brand peduli lingkungan.  Starbuck hanya menghabiskan kurang dari US$ 10 Milyar biaya advertising di Amerika Serikat, selama 10 tahun terakhir, namun meraih US$ 1.3 trilyun income per tahun.  Wal-Mart sukses di dunia retail hampir tanpa iklan termasuk Sam’s Clubyang menghasilkan US$ 56 milyar tanpa iklan sama sekali. Di dunia pharmasi , Viagra, Vioxx dan  Prozac, di dunia mainan – Pokemon & Barbie, di dunia teknologi seperti Oracle, Cisco, dan SAP semua brand ini menghasilkan milyaran dollar dengan biaya advertising minim. 
Buku dengan Lima bagian ini,  mengulas secara komprehensif kedua aspek advertising dan Public Relations. Bagian pertama, The Fall of Advertising, berisi perbandingan value bagi praktisi pemasaran, serta paparan tentang ruang lingkup keunggulan superiotas Advertising.  Bagian ini berisi artikel, seperti - Advertising and Car Salesman,Advertising and the DotcomsAdvertising dan Credibility.  Artikel – artikel ini menunjukkan kurangnya kredibilitas Advertising dalam ingredient membangun brand yang solid.  Intinya, advertising effektif dalam tahapan awal merek, namun begitu sudah berkembang mutlak dilanjuti dengan publikasi PR.  Dibarengi contoh kasus kegagalan advertising di Pets.com , Joe Isuzu, serta banyak lain termasuk konsep baru Taco BellChapter ini mampu memutar balikan paradigma pemasaran yang kita kenal selama ini.
Pada bagian kedua, The Rise of PR, adalah inti sari dan bagian terpenting dari buku ini. Termasuk,  bagaimana PR bisa lebih effektif dari Advertising ?  Di isi artikel –artikel seperti – The Power of a Third Party, Building a New Brand with PR, Rolling Out Your Brand serta Dealing Names.  The Power of a Third Party – memberi realita kepada pembaca bahwa kita tidak bisa tergantung hanya oleh mata dan telinga kita sendiri. Harus diakui, kita tetap memerlukan obervasi orang ketiga.  “All I know is just what I read in the papers,” Will Rogers dan Seinfeild, kedua bintang film terkenal ini pernah berkata.  Kita memang tidak percaya 100 persen dengan media ,namun tulisan-informasi media mampu mempengaruhi kita.  30 persen dari sebuah koran itu terdiri atas artikel editorial dengan 70 persen sisa  adalah iklan.  Tentu,  lebih banyak waktu kita fokuskan untuk membaca artikel dari melihat iklan – iklan tersebut, bahas Ries.  Dalam Building a New Brand with PR, penulis memberi perbandingan antara  Coca Cola yang berdiri sejak 1886 dan Microsoft di 1975.  Microsoft (baru berumur 27 tahun) bisa menjadi the most valuable brandkedua setelah Coca-Cola (yang berumur 116 tahun) adalah karena kemampuan publikasi global Microsoft yang luar biasa. Microsoft mempunyai brand value senilai US$ 65 milyar menurut Interbran, sebuah valuation company.  Dengan penghasilan US$ 23 milyar pertahun, penghasilan Microsoft jauh dari sebuah perusahaan yang bernama TIAA-CREF (menghasilkan US$ 38 milyar per tahun) yang jarang, bahkan mungkin tidak pernah kita dengar.  Chapter ini juga membahas keunggulan global brand, seperti Linux, Red Bull serta kecangggihan Super scooter – Segway – (yang lagi trendy di Amerika) yang sukses melalui ulasan publikasi.  Establishing Your Credentials – mengangkat pentingnya artikel positif demi kredibilitas brand Anda.  Ries memberi contoh, jika ulasan artikel tentang minuman ber-energy Red Bull (KratingDaeng) muncul, namun tidak terungkap keunggulannya dalam kategory minuman ber-energy ataupun artikel tentang Volvo namun tidak menguraikan keunggulan safety-nya , semua ini akan kurang berarti, bahkan bisa berbahaya bagi brand tersebut.
Pada bagian ketiga – membahas proses A New Role for Advertising – peran baru Advertising.  Bagian yang terdiri dari 3 tulisan ini, penulis membahas - Maintaining the Brand, Keeping On Course serta Firing on All Cylinders. Pokok pikirannya adalah Advertising tetap menjadi bagian integral serta strategis dalam maintaining sebuah Brand.  Penulis kembali menfokuskan ide dasarnya bahwa fungsi advertising adalah Brand maintenance, sedangkan PR adalah brand building.  Iklan harus tetap harus berjalan untuk lebih memantapkan peran strategis PR.
Pada bagian Keempat, The Differences Between Advertising and PR, kedua penulis kembali memberi judul-judul sedikit nyentrik disertai analogy seperti - Advertising is the Wind - PR Is the Sun, Advertising is Incredible - PR is Credible, Advertising is Visual – PR is Verbal, bahkan judul seperti Advertising Dies – PR Lives.  Bagian Keempat beirisi artikel-artikel singkat perihal perbedaan kedua alat komunikasi ini.  Bukan hal baru, jika banyak perusahaan menghabiskan lebih banyak dana untuk beriklan dibanding PR.  Seharusnya, menurut Ries, sebuah organisasi harus lebih banyak menghabiskan waktu dan dana untuk PR Strategy Development and Verbalization, demikian ulasan dalam Advertsing is expensive – PR is inexpensive. Kemampuan Macintosh (memakai nama brand baru, bukan Apple IV) serta Playstation (nama brand baru bukan Sony VGP) juga diraih karena efektif publisitas di media.
Pada tulisan akhir, Ries kembali menggabungkan ide-ide dasar PR sebelumnya berupa kompilasi dalam bentuk catatan-catatan akhir.  Ada tiga point akhir yang bisa Kita catat adalah : Pertama, Advertising mempunyai kekurangan dalam kredibilitas, yang merupakan ingredient utama dalam membangun brand, sedangkan  hanya PR yang mampu men-supply kredibilitas tersebut.  Kedua – strategi “big bang “ advertising harus diganti dengan strategi PR yaitu dengan membangun brand secara pelan namun pasti. Ketiga – Advertising digunakan untuk me-maintain brand, selebihnya adalah strategi PR melalui publisitas.
Walau memberikan begitu banyak ulasan sukses PR seperti Red Bull, Sony Playstation, The Body Shop, Wal-Mart, dan Viagra yang dibangun hampir tanpa advertising, Ries tidak memberi contoh detil tentang implementasi strategi program PR itu sendiri. Termasuk applikasi PR dalam menghadapi crisis control ataupun management issues.  Kritik Ries terhadap Iklan harus dibarengi dengan kepiawaian seorang PR strategist yang jitu pula - skillful public relations is what sells.
Relevansinya adalah bagaimana buku ini mampu merubah cara pandang kita terhadap paradigma Public Relations selama ini.  Sudah sepantasnya, posisi PR, dijadikan fondasi strategis korporasi baik untuk brand building maupun operasional manajemen perusahaan. Buku ini adalah inspirasi baru – an eye opener - bagi para praktisi PR, pemasaran, eksekutif, profesional termasuk akademis di Indonesia.  Dengan semua simplisitasnya, toh, buku ini tetap menarik dan enak dibaca.

rebranding

PENGERTIAN DASAR REBRANDING

Perubahan logo atau Rebranding berasal dari kata re- dan brandingRe berarti kembali, sedangkan branding adalah proses penciptaan brand image yang menghubungkan hati dan benak pelanggannya. Jadi rebranding adalah suatu upaya atau usaha yang dilakukan oleh perusahaan atau lembaga untuk merubah total atau memperbaharui sebuah brand yang telah ada agar menjadi lebih baik, dengan tidak mengabaikan tujuan awal perusahaan, yaitu berorientasi profit.
Rebranding sebagai sebuah perubahan merek, seringkali identik dengan perubahan logo ataupun lambang sebuah merek. Dengan kata lain, ketika melakukan rebrandingmaka yang berubah ialah nilai-nilai dalam merek itu sendiri.
Pada umumnya sebuah perusahaan melakukan rebranding karena beberapa alasan:
1. Alasan finansial, perusahaan secara finansial melakukan reorganisasi dan sebuah identitas baru diperlukan untuk hal itu.
2. Adanya kepemimpinan baru, untuk mengiringi awal kepemimpinannya, mereka ingin “tanda atau simbolnya” sendiri di perusahaan yang dipimpinnya.
3. Analisa prospektif pasar, setelah sekian tahun perusahaan perlu menegaskan kembali targetnya dan merencanakan mengubah positioningnya pada area yang baru, sehingga perlu citra yang baru pula untuk merefleksikan hal tersebut.
4. Merger, beberapa perusahaan bergabung menjadi satu perusahaan yang baru dengan nama baru.
Ada beberapa alasan lain dilakukannya rebranding dalam sebuah perusahaan yaitu:
1. Identitas dari perusahaan tersebut tidak dapat mewakili pelayanan dari perusahaan tersebut.
2. Perusahaan tersebut sudah memiliki reputasi yang buruk di mata masyarakat.
3. Perusahaan tersebut ingin memberikan sesuatu yang baru, berupa pembenahan dalam perusahaan.
Rebranding memakan waktu yang lama karena harus mempertimbangkan beberapa faktor, diantaranya faktor internal dan eksternal. Faktor internal misalnya, perusahaan harus mempertimbangkan secara matang apakah perubahan ini membawa pengaruh yang besar bagi karyawannya dalam menjalankan tugasnya, karena karyawan harus memperkenalkan kembali logo baru tersebut ke masyarakat. Dalam melakukan rebranding perusahaan sedikit banyak harus mendapat kesempatan bersama dari para karyawannya. Faktor eksternal ialah masyarakat dan stakeholder. Perusahaan harus mempertimbangkan juga apakah dengan perubahan logo, masyarakat memahami maksud dan tujuan yang hendak dicapai perusahaan.
Untuk menciptakan brand sebuah perusahaan dalam hal ini ialah logo, tidaklah mudah. Ada dua komponen penting yang perlu dipertimbangkan, yakni tampilan dan bahasa. Tampilan berhubungan dengan logo bisnis atau produk. Sebuah logo yang efektif seharusnya :
  • Unik.
  • Dengan segera memberitakan sifat alami bisnis, produk, atau servis. Hal ini dapat ditafsirkan dengan dua cara yaitu literal dan abstrak.
  • Menarik bagi target penonton.
  • Tidak tergantikan karena pergantian waktu (tahan lama).
  • Dapat bekerja dalam semua konteks potensi komunikasi.
Aspek kedua yang sama pentingnya dalam membuat brand ialah bahasanya atau cara mengungkapkannya. Hal ini sering dijelaskan sebagai tagline atau cara memposisikan pernyataan. Hal ini digunakan untuk meyakinkan konsistensi dan kelanjutan dari kedua hal yaitu penampilan dan bahasa menggambarkan perusahaan yang sekarang kepada pelanggan.
Contoh perusahaan BUMN yang pernah melakukan rebranding antara lain Bank Mandiri, BNI, Indosat, Pertamina, Pegadaian, Pos Indonesia, Bulog dan Garuda Indonesia. Sementara perusahaan swasta yang melakukan rebranding antara lain BII, Danamon dan Garudafood.

Senin, 09 Desember 2013

JOKO SETIYANTO, JUNGKIR BALIK DI BISNIS KONSTRUKSI


artikel-bisnis JOKO SETIYANTO, JUNGKIR BALIK DI BISNIS KONSTRUKSI
CE-logoTidak banyak orang yang berani untuk memutuskan memulai kembali kariernya dari nol dengan menjadi "petarung" setelah merasa nyaman dengan posisinya di kantor. Pasalnya dengan menjadi pegawai maka penghasilan tetap selalu mengalir setiap bulan. Tapi tidak dengan alumni yang satu ini.

Setelah berkarier cukup lama menjadi pegawai di sektor konstruksi, dia memutuskan untuk melepas segala kenyamanan sebagai pegawai dengan menjadi entreprenur. Dialah Y. Joko Setiyanto yang kini sukses memiliki perusahaan manajemen konstruksi papan atas yaitu PT Trimatra Jaya Persada.

“Saya sudah pernah menjadi pegawai di PP, Total Bangun Persada, dan PT Lippo Development. Tapi kalau menjadi pegawai terus, saya tidak bisa berkontribusi lebih besar untuk negeri ini,” katanya.

Untuk itulah, jebolan alumni Teknik Sipil Undip 1981, mengawali pengembaraan kariernya dengan mendirikan Totalindo di tahun 1995, sebuah perusahaan konstruksi baru yang digawangi oleh awak-awak dari Total Bangun Persada yang berjumlah 4 orang dan 1 orang dari Lippo Development. Mereka ini lantas meminjam modal usaha sebesar Rp 1 miliar untuk operasional dari seorang koleganya.

Memang, untuk memulai sesuatu itu, Joko mengakui harus bisa mengalahkan diri sendiri dulu. Jangan pernah pikirkan anggapan negatif yang selalu muncul di saat mulai berusaha sendiri. Sebab bila seseorang itu sudah menguasai bidangnya dengan baik maka tidak perlu ada keraguan dari dalam diri sendiri.

“Modal saya itu hanyalah market dan klien-klien besar yang sudah saya pahami dengan baik sehingga pada saat mendirikan perusahaan itu saya sudah punya beberapa klien besar dengan proyek-proyek besar. Jadi tidak usah pusing memikirkan modal usaha. Itu bisa dicari dengan meminjam teman bila tidak punya modal usaha cukup kuat,” katanya.

Analisis Joko itu pun terbukti. Secara perlahan, beberapa proyek dari para klien besarnnya itu berhasil didapatkan. Sebut saja beberapa proyek seperti Mall Taman Anggrek, dan Hotel Mulia Senayan, merupakan proyek yang pernah digarap. Tentunya masih banyak lagi proyek lain yang digarap di bawah bendera Totalindo.

“Sudah dari awal saya meyakini ini bisa dilakukan dan berhasil. Coba kalau cuma jadi pegawai. Susah untuk memperbaiki kehidupan karena gajinya cuma segitu-segitu saja,” tandasnya.

Di bawah bendera Totalindo inilah, Joko lantas membajak karyawan-karyawan potensial dari Lippo, PP dan Total Bangun Persada untuk bergabung. Hingga akhirnya manajemen di Totalindo menjadi kuat dan memberikan warna baru di sektor konstruksi.

Setelah cukup berhasil dengan mendirikan Totalindo, di tahun 1999 Joko kembali memutuskan untuk menjadi petarung. Padahal saat itu, kehidupannya sudah jauh lebih baik ketimbang masih menjadi pegawai. Alasan Joko keluar dari Totalindo, adalah karena di perusahaan yang didirikannya itu sudah mulai timbul perselisihan dan tidak kondusif lagi.

Maka di tahun 2000, dia kembali memutuskan untuk mendirikan perusahaan baru kembali bersama rekannya yaitu PT Trimatra Jaya Persada. Perusahaan itu bergerak di bidang manajemen konstruksi untuk gedung. “Beberapa proyek yang saya tangani seperti Gading Mediteranian Residences, Mediterania Garden Residences, Senayan City dan masih banyak proyek proyek lainnya."

Kehidupannya terus semakin membaik. Djoko tidak henti-hentinya melakukan terobosan dengan terus mencari proyek-proyek prestisius dari klien-klien besarnya tersebut. Hingga kini entah sudah berapa proyek yang sudah ditanganinya itu.

Di tahun 2003, lagi lagi Djoko menantang dirinya sendiri, untuk berkontribusi lebih besar lagi kepada negeri ini. Caranya adalah dengan masuk ke perusahaan daerah milik Pemda DKI. Dia pun mulai mengikuti tes masuk ke PD Pasar Jaya secara professional.

Akhirnya dia pun berhasil masuk ke dalam hingga masuk ke dalam jajaran direksi dengan posisi Direktur Operasional selama dua periode, dan sekarang menginjak tahun ke delapan. Sejak itulah dia semakin memahami bagaimana kondisi perusahaan di dalam, yang tentunya memerlukan banyak pembenahan.

“Untuk itu kami merasa perlu menata kembali perusahaan ini agar memiliki pondasi yang benar dan tidak keluar dari core bisnis intinya sebagai perusahaan properti,“ katanya.

Gebrakan baru pun dilakukan. Di masanya itu pulalah, PD Pasar Jaya merampingkan para karyawannya yang berjumlah 4.000 orang menjadi 1.800 orang tanpa menimbulkan gejolak. Mereka berharap dengan perampingan ini terjadi efisiensi perusahaan dalam hal jumlah sumber daya manusia.

Tidak berhenti sampai disitu, jajaran direksi juga kembali menata dan melakukan peremajaan pasar pasar tradisional supaya kembali menjadi property yang bersih, nyaman dan aman seperti yang sudah dilakukan di Pasar tanah Abang, Pasar Induk Kramajati, Pasar Blok M Square dan pasar-pasar lainnya.

Usaha pembenahan itu membuahkan hasil. Di tahun 2005, PD Pasar Jaya berhasil mendapat penghargaan dari BUMD Award dengan menjadi salah satu perusahaan terbaik di Indonesia. Dan dalam waktu dua tahun pulalah kondisi keuangan perusahaan terus membaik.

“Kita harus bisa bergerak lebih cepat daripada kompetitor. Bila tidak mampu bergerak lebih cepat maka bisa tertinggal lebih jauh,” katanya.

Bersamaan dengan itu, pada tahun 2006, Joko mendirikan ASPARINDO (Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia) sebuah wadah komunikasi para pengelola pasar tradisional di seluruh indonesia. Dan saat ini ASPARINDO menjadi mitra strategis pemerintah dalam pemberdayaan pasar tradisional khususnya di Kementerian Perdagangan RI, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Dalam Negeri.

Dan sebagai sumbangsih kepada tanah kelahirannya di Ambarawa, Joko mendirikan Yayasan ”Ambarawa Heritage” yang merupakan wadah dalam pelestarian alam, cagar budaya, dan menggali potensi yang luar biasa untuk industri pariwisata ke depan. Dan saat ini sudah menjalin kerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Semarang dan Kementerian Lingkungan Hidup.

Lantas apa yang menjadi prinsipnya dalam bekerja itu? Yang jelas dalam bekerja, dia lebih  memilih menjadi petarung. Jangan mengambil sikap sebagai safety player yang tidak berani membuat terobosan di dalam hidup. Karena bila memilih menjadi safety player maka tidak mampu berkompetisi.

“Saya selalu mempersiapkan hidup saya tidak menjadi safety player, karena kompetisi sangat keras sehingga menuntut kita untuk menjadi petarung guna menjadi terbaik di bidangnya,” katanya.

Jadi bila diminta untuk menakar sebesar apa kemampuan Joko untuk menghadapi kehidupan itu? Dia bilang, bila seseorang itu bisa menyanggupi 100 % maka Joko akan memberikan 300 %. Untuk itu, sebagai petarung, tidak segan-segan joko bekerja hingga subuh ketimbang orang lain yang hanya bekerja di waktu normal. (asm) 

http://www.eciputra.com/berita-980-joko-setiyanto-jungkir-balik-di-bisnis-konstruksi.html

Paradoks Marketing Telkom di Segmen Transportasi


Paradoks Marketing Telkom di Segmen Transportasi
Muhammad Awaluddin (DOK)
JAKARTA (IndoTelko) - PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) konsisten menerapkan strategi Paradoks Marketing untuk menggarap segmen korporasi.

Setidaknya itu bisa terlihat sejauh ini dari aksi Direktorat Enterprise and Business Services yang dikomandoi Muhammad Awaluddin.

Sebut saja program Indonesia Digital Society atau Indonesia digital ecosystem (Indico). Sedangkan yang terbaru aksi Telkom membangun sistem Teknologi Informasi (TI) untuk segmen transportasi, khususnya Kereta Api.

Telkom "bersedia" membangun pusat pemantauan tiket elektronik atau E-Ticketing Monitoring Center (EMC) yang akan memantau seluruh perangkat tiket di 67 stasiun KRL Commuter Line melalui anak usahanya PT Sigma Cipta Caraka atau TelkomSigma.

Jika dilihat “kesediaan” membangun tersebut tak bisa dilepaskan dari filosofi Paradoks Marketing yang dianut Telkom di bawah Direktur Utama Arief Yahya.

Paradoks Marketing adalah menjalankan pemasaran dengan konsep yang tak biasa karena konsumen telah berubah. Konsep pemikiran ini berasal dari  Arief Yahya dan dituangkan dalam buku dengan judul yang sama.

Langkah “bersedia” membangun dan berinvestasi di depan ini sudah banyak diterapkan Telkom. Misalnya, untuk pemerintah daerah membangun akses serat optik atau di sekolah rela memasang WiFi demi menguasai pasar masa depan.

Nah, di segmen transportasi ini Telkom sebenarnya tengah berupaya menancapkan kukunya. Lihat saja, Telkom bermain di solusi uang digital untuk tiket kereta api, pemanfaatan serat optic di jalur rel, dan lainnya.

Pola Bisnis
Direktur Enterprise and Business Services Telkom Muhammad Awaluddin mengungkapkan investasi pembangunan EMC sudah masuk  dengan pembangunan e-ticketing system yang juga dibangun oleh Telkomsigma.

“Tidak besar investasinya. Kita tidak mau bicara angka kalau sedang menolong," kilahnya  di Jakarta, Senin (30/9).

Presiden Direktur TelkomSigma Judi Achmadi menambahkan perseroan sebagai pembuat aplikasi dari kerjasama Telkom dan PT Kereta Api Indonesia (KAI).

"Ini polanya bagi hasil dari trafik. Managed service oleh Telkom," jelas Judi.

Dikatakannya, sistem yang didukung berbagai sumber daya dan perangkat elektronik serta proses pembangunan sistem yang responsif terhadap kebutuhan untuk meminimalisir antrian pada loket dan monitoring secara tersentralisasi yang juga didalamnya termasuk meminimalisir terhadap call in, web in serta walk in.

Direktur Utama Kereta Api Indonesia Ignasius Jonan mengakui pembangunana sistem tersebut seluruhnya merupakan inisiatif Telkom sebagai wujud sinergi sesama BUMN.

"KCJ mengatur dan melakukan eksekusi di lapangan. Kami melihat ini masalah komitmen, jika diserahkan ke pihak lain bisa tidak panjang. Telkom kalau sukses di KRL Jabodetabek, bisa implementasi di tempat lain," katanya.

Dijelaskannya dengan sistem yang dinamakan EMC, nantinya seluruh perangkat e-ticketing di 67 stasiun yang mengoperasikan 389 gate dan 270 titik penjualan akan dipantau dengan sistem teknologi informasi.

Direktur Utama KAI Commuter Jabodetabek Tri Handoyo mengatakan pembangunan sistem e-ticketing dimulai pada awal tahun ini.

Proyek tersebut dilanjutkan dengan pengoperasian tiket single dan multi-trip dengan sistem tarif progresif mulai 1 September 2013.
Sistem ticketing itu diharapkan dapat meningkatkan layanan bagi sekitar 550 ribu pengguna KRL di Jabodetabek. KRL sendiri ditargetkan mengangkut 1,2 juta penumpang per hari pada 2019.

Menurut Tri, sistem elektronis ini bisa meminimalir antrean pada loket dan monitoring secara tersentralisasi.

“Dulu penumpang yang keluar dan tidak mengembalikan tiket sebanyak 20 ribu penumpang, maka sejak diberlakukan Tarif Harian Berjaminan (THB) elektronis sudah tidak terjadi. Penurunan juga terjadi di beli di loker menjadi sebanyak 20%,” ungkapnya.

Jika dilihat, aksi Telkom untuk  menguasai terlebih dulu pasar TI angkutan massal sebagai langkah yang cerdik. Hal ini jika merujuk ke Singapura dan Hong Kong dimana uang digital awalnya marak digunakan di sektor ini, sebelum merambah ke segmen lain.(id)
http://www.indotelko.com/kanal_indepth?it=Paradoks-Marketing-Telkom-di-Segmen-Transportasi

Branding untuk Anak-anak, Mengapa Tidak?

Branding untuk Anak-anak, Mengapa Tidak?


Ilustrasi. (Foto: Seorchers) Ilustrasi. (Foto: Seorchers)

BRANDING adalah proses membangun persepsi terhadap suatu produk, mulai dari merancang strategi, esensi, memilih nama, sampai dengan menciptakan bentuk dan warna yang mewakili seluruh persepsi yang ingin dicapai.

Dalam proses tersebut, sebuah brand tentunya dikemas secantik dan semenarik mungkin, bahkan sampai terkadang dapat melebihi fakta dan realita yang ada. Segala upaya pemasaran dan komunikasi dilakukan untuk memoles citra sebuah brand dari berbagai arah. Bila berkomunikasi dengan konsumen dewasa, tentu mereka sudah jauh lebih mampu menyaring informasi dan membuat sebuah keputusan.

Namun bagaimana dengan anak-anak? Ibarat kertas putih yang polos, seluruh informasi akan masuk dengan mudah ke dalam pikiran anakanak karena mereka belum memiliki kapabilitas tersebut. Dalam hal ini, apakah sebuah brand dapat mengubah realita dan membohongi anak-anak? Mari kita kembali ke beberapa dekade yang lalu di tahun 1959 ketika boneka remaja perempuan yang cantik bernama Barbara Millicent Robert, atau yang sekarang kita kenal dengan sebutan Barbie, mulaidiperkenalkan ke pasar.

Pada saat itu, dunia mainan anak didominasi oleh boneka bayi perempuan yang bulat dan terbuat dari kain dan wol. Barbie muncul dengan konsep desainremaja putriyangcantik dan menarik. Hal ini merupakan sebuah gebrakan besar dalam industri mainan anak sehingga Barbie mampu menembus angka penjualan sebanyak 350.000 buah boneka dalam tahun pertamanya.

Di tengah sorotan yang luas dari berbagai pihak, muncul kekhawatiran akan bentuk tubuh Barbie yang tidak proporsional dibandingkan dengan bentuk tubuh manusia. Hal ini memicu remaja perempuan menderita anoreksia demi mendapatkan porsi tubuh ideal selayaknya boneka Barbie.

Menyadari sisi negatif tersebut, Matel sebagai produsen dan pemilik register dari Barbie, pada awal tahun 2000 memutuskan untuk memperbaiki bentuk tubuh Barbie dengan menambahkanmasatubuh dan memperlebar lingkar pinggang agar lebih manusiawi. Lego, sebuah legenda produk mainan terbesar di dunia, berhasil mengikat anakanak bahkan sampai mereka beranjak dewasa. Apa yang dilakukan Lego sehingga dapat mengunci hati para pecintanya?

Di balik kesuksesannya, sebetulnya Lego pernah mengalami masa resesi pada tahun 2005. Lego memunculkan mainanmainan langsung jadi–di mana konsumen menilai Lego telah kehilangan “jiwanya”. Akibatnya, begitu banyak konsumen yang meninggalkan Lego. Beruntunglah Lego cepat menyadari hal tersebut; Sampai sekarang mereka telah kembali dengan mainan konsep lama mereka dan berhasil memenangkan pasar bahkan jauh lebih besar dari sebelumnya.

Lego tetap menjaga tujuan utama dari brand-nya sebagai pengembang imajinasi dan kemampuan berkreasi anak. Brand yang baik adalah brand yang dapat mengomunikasikan esensi melalui setiap pesannya. Namun pada saat yang bersamaan, pesan yang disampaikan haruslah dapat dipertanggung jawabkan. Ketika kita memasarkan brand kepada konsumen dewasa, mereka akan secara kritis melakukan verifikasi dan validasi untuk mengetahui sampai di mana kebenaran dari informasi yang mereka terima.

Hal yang berbeda ketika berhadapan dengan anak-anak di mana pemilik brand tentunya harus menyadari bahwa setiap komunikasi yang disampaikan kepada anak-anak akan sangat cepat diserap oleh mereka, baik yang benar maupun yang bohong. Oleh karena itu, integritas dan kredibilitas brand harus dijunjung tinggi, yaitu dengan kembali kepada esensi atau tujuan dasar dari eksistensi brand tersebut.

DANIEL SURYA
Chairman & President SEA, DM-IDHOLLAND
&
ELSYA JONATHAN
Account Manager, DM-IDHOLLAND


(Koran SINDO//wdi)
http://economy.okezone.com/read/2013/10/24/23/886117/branding-untuk-anak-anak-mengapa-tidak